Adnow

loading...

Zoteromedia

Adsensecamp

Pengaruh Metabolit Sekunder Cendawan pada Benih Tanaman dan Patogen Benih

Metabolit Sekunder - Cendawan merupakan organisme yang dapat menghasilkan produk alami yang disebut metabolit sekunder, dan dimanfaatkan untuk kepentingan medis, industri, dan/atau pertanian (Bu’Lock 1961). Telah diketahui bahwa biosintesis produk alami ini biasanya berasosiasi dengan diferensiasi atau perkembangan sel. Pada kenyataannya metabolit sekunder dihasilkan oleh organisme yang memiliki filamen dan morfologi kompleks (Calvo et al. 2002). 
ya

Metabolit sekunder umumnya berasosiasi dengan proses sporulasi mikroorganisme, termasuk cendawan (Sekiguchi dan Gaucher 1977). Metabolit sekunder berasosiasi dengan sporulasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu metabolit yang mengaktifkan sporulasi (misalnya komponen asam linoleat yang dihasilkan oleh Aspergillus nidulans) (Calvo et al. 2001), pigmen yang diperlukan untuk struktur sporulasi (contoh melanin untuk pembentukan spora aseksual dan seksual serta tubuh buah) (Alspaugh et al. 1997), dan metabolit toksik yang disekresikan oleh pertumbuhan koloni saat sporulasi (misalnya biosintesis produk alami, seperti mikotoksin) (Hicks 1997). 

Metabolit primer dan komponen antara berakumulasi pada cendawan dan diubah menjadi produk berbeda (metabolit sekunder) yang tidak dibuat secara normal selama pertumbuhan aktif dan tidak dibutuhkan untuk proliferasi vegetatif. Beberapa metabolit sekunder merupakan molekul kompleks dan dihasilkan ketika cendawan tidak tumbuh secara aktif, pembentukannya bersamaan dengan diferensiasi dan sporulasi cendawan. Beberapa produk berguna untuk kepentingan ekonomi (antibiotik) tetapi produk lain dapat berbahaya (mikotoksin) bagi manusia dan hewan (Isaac 1997). 

Analisis bioinformatika dari genom Aspergillus nidulans menunjukkan Aspergillus nidulans mengandung 27 polyketide sintase, 14 peptid sintase nonribosomal, 6 asam lemak sintase, dan satu sequiterpene cyclase (Chun Lo 2008). 

Metabolit Sekunder Aflatoksin 

Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan antara lain oleh galur-galur tertentu Aspergillus flavus (Pitt dan Hocking 1997) apabila tumbuh pada substrat yang sesuai antara lain kacang tanah (Pitt 1999). Aflatoksin bersifat karsinogen, keberadaannya pada suatu bahan dapat membahayakan kesehatan hewan dan manusia yang mengkonsumsinya, karena dapat menyebabkan kanker hati (Wogan 1969). Jenis aflatoksin yang umum ditemukan pada bahan pangan adalah aflatoksin B1, B2, G1, dan G2, sedangkan jenis yang paling berbahaya adalah aflatoksin B1 (Betina 1989). 

Serangan A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada biji-bijian dapat terjadi di berbagai tingkatan rantai distribusi apabila tidak didukung oleh penanganan pascapanen dan sarana yang layak. Dharmaputra et al. (2005) melaporkan bahwa kandungan aflatoksin B1 tertinggi terdapat pada biji kacang tanah yang diperoleh dari pengecer di pasar tradisional di kabupaten Wonogiri. Persentase sampel biji kacang tanah yang terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb dan diperoleh pada musim hujan dan kemarau masing-masing adalah 33% dan 76%. 

Menurut Dharmaputra et al. (2005) di kabupaten Cianjur persentase sampel kacang tanah tertinggi yang terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb yaitu di tingkat grosir (80% sampel), diikuti oleh pengecer (75.6%), petani (38.5%), dan pedagang pengumpul (30.0%). Berdasarkan pertemuan yang diadakan di Roma (Italia) pada tanggal 28 Juni-3 Juli 1999, Codex Alimentarius Commission menetapkan kandungan total aflatoksin maksimum pada kacang tanah yang akan diproses adalah 15 ppb (FAO & WHO 1999). 

A. flavus adalah cendawan tanah. Sebelum dipanen biji kacang tanah dapat terserang A. flavus toksigen (penghasil aflatoksin) yang berasal dari dalam tanah, terutama akibat cekaman kekeringan (Pitt 1999). Selanjutnya apabila cara dan sarana penanganan pascapanen kacang tanah tidak layak, A. flavus toksigen yang terdapat pada biji kacang tanah dapat memproduksi aflatoksin. Menurut Diener dan Davis (1969), Dharmaputra et al. (2001) produksi aflatoksin juga dipengaruhi antara lain oleh keberadaan galur A. flavus non-toksigen dan spesies cendawan lain yang bersifat antagonis terhadap A. flavus toksigen. 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya 

Menurut Gourama dan Bullerman (1995), produksi aflatoksin dipengaruhi oleh interaksi antara spesies cendawan, substrat dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu fisik (suhu, pH, kelembaban relatif dan kadar air, cahaya dan aerasi), nutrisi dan biologi. Kandungan aflatoksin B1 pada berbagai perlakuan, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tergolong rendah, diduga karena cara penanganan pascapanennya (pengeringan dan pengupasan polong) dilakukan secara layak (Noviansari 2006). 

0 Response to "Pengaruh Metabolit Sekunder Cendawan pada Benih Tanaman dan Patogen Benih"

Posting Komentar

  Yuuk Berbisnis Mudah dan Gratis
Buktikan Sendiri dengan Klik DISINI