Lahan Miring - Tanah-tanah di daerah berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih besar dibandingkan dengan tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, air hujan yang jatuh akan terus-menerus memukul permukaan tanah sehingga memperbesar risiko erosi. Tingkat erosi yang cukup tinggi masih dipercayai terjadi di lahan pertanaman kopi monokultur yang berlereng curam, apalagi bila penyiangannya dilakukan secara intensif (clean weeding). Hasil penelitian Afandi et al. (2002) pada lahan berlereng 30 % dengan kopi berumur 2 tahun dan lantai kebun kopi disiang secara periodik menunjukkan tingkat erosi yang terjadi adalah 22.7 Mg ha-1.
Kemiringan lereng yang curam mempengaruhi besarnya laju erosi dan aliran permukaan. Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan faktor penting dalam memillih tindakan konservasi. Oleh karena itu, strategi dalam tindakan konservasi pada lahan berlereng dilakukan dengan memperlambat laju erosi dan aliran permukaan serta memperpendek panjang lereng (Subagyono et al. 2004). Pratiwi (2006) melakukan penelitian mengenai pembuatan teras gulud dan bedengan searah kontur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bedengan searah lereng dengan panjang 5 m yang dipotong teras gulud dan bedengan yang dibuat searah kontur sangat nyata mengurangi erosi dan aliran permukaan (90-95% dan 50-70%) dibandingkan dengan bedengan searah lereng.
Faktor pendukung terjadinya erosi
Penyiangan yang dilakukan secara intensif, hampir tidak menyisakan tanaman di permukaan tanah. Padahal penutupan tanah oleh vegetasi memiliki peranan penting melindungi permukaan tanah dari tumbukan langsung air hujan. Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi akibat erosi.
Dalam usaha pertanian, jenis tanaman yang diusahakan memainkan peranan penting dalam pencegahan erosi (Nurmi 2009). Hasil Penelitian Schroth et al. (2001) menunjukkan bahwa cupuacu yang ditanam dengan pohon palem, karet dan papaya memberikan hasil 72% lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam dengan sistem monokultur.
Struktur (kondisi fisik) tanah juga merupakan salah satu faktor yang dominan dalam menentukan erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanaman kopi di Sumberjaya. Afandi (2002) melakukan pengukuran aliran permukaan di Desa Bodong, Sumberjaya pada skala plot dengan berbagai tipe pengelolaan lahan yaitu, plot kopi dengan rumput kerbau (Paspalum conjugatum) sebagai tanaman penutup tanah, plot kopi dengan penyiangan dan plot kopi tanpa penyiangan.
Erosi Berkaitan dengan Pengelolaan Lahan
Pada plot kopi dengan penyiangan, aliran permukaan mencapai 7–16 %, jumlah ini menurun pada tahun kedua seiring dengan tumbuhnya tanaman kopi. Adanya P. conjugatum dapat menurunkan aliran permukaan dan kehilangan tanah sampai 0 % setelah tahun ke tiga, sedang pada plot kopi tanpa penyiangan, aliran permukaan dan kehilangan tanah menurun sampai hingga 0 % setelah tahun ke empat. Pada kecamatan yang sama, namun struktur tanah berbeda di desa Tepus dan Laksana, Agus et al. (2002) menyatakan bahwa besarnya limpasan permukaan pada plot kopi monokultur sebesar 48 mm dan kehilangan tanah hanya sebesar 1.3 Mg ha-1 dalam periode 8 bulan dengan curah hujan sebesar 2347 mm.
Erosi yang telah berlanjut menyebabkan rusaknya ekosistem sehingga penanganannya akan memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Menurut Kurnia et al. (2002), kerugian yang harus ditanggung akibat erosi tanpa adanya tindakan konservasi mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan apabila lahan dikonservasi secara vegetatif, maka kerugian akan jauh lebih rendah.
Mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi sangat diperlukan untuk pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat. Kondisi sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta memperkecil risiko degradasi lahan akibat erosi.
0 Response to "Masalah Erosi di Lahan Pertanaman Kopi"
Posting Komentar