Penyakit Antraknosa - disebabkan oleh enam spesies Colletotrichum, yaitu C. gloeosporioides, C. capsici, C. dematium, C. coccodes, C. acutatum, dan Glomerella cingulata (Kim et al. 1989). Cendawan Colletotrichum yang menyerang pertanaman cabai di Indonesia adalah C. capsici dan C. gloeosporioides (Suryaningsih et al. 1996). Namun pada tahun 2007 diketahui bahwa C. acutatum banyak ditemukan menyerang pertanaman cabai di Indonesia (Widodo 2007). Suryaningsih et al. (1996) menyatakan populasi Colletotrichum gloeosporioides di lapangan 5-6 kali lebih banyak daripada populasi C. capsici. Dengan demikian tampaknya terdapat kecenderungan C. gloeosporioides lebih ganas dan dapat menimbulkan infeksi laten dibandingkan dengan C. capsici.
Infeksi Colletotrichum
Colletotrichum umumnya menyerang daun muda, dan pengenalan penyakit antraknosa dapat dilakukan dengan melihat gejala khusus pada bagian tanaman yang terserang. Serangan ringan pada daun muda akan memperlihatkan gejala bintik-bintik nekrosis berwarna cokelat. Setelah daun berkembang, bintik nekrosis akan menjadi bercak berlubang dengan halo berwarna kuning. Pada daun-daun muda yang terserang berat biasanya mudah mengalami kerontokan sehingga menyebabkan ranting gundul dan biasanya diikuti dengan kematian ranting (Wahyudi et al. 2008).
Gejala Penyakit Antraknosa
Buah yang terserang akan menimbulkan gejala bercak lunak berwarna hitam dan dapat berkembang menjadi busuk lunak. Serangan yang berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering, keriput, dan buah menjadi rontok dan jatuh ke tanah. Patogen dapat juga menyerang pada buah yang sudah dipetik. Penyakit akan berkembang selama dalam pengangkutan dan dalam penyimpanan, sehingga hasil panen akan menjadi busuk dan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi (Efri 2010).
Menurut Black et al. (1991) dan Suryaningsih et al. (1996), gejala awal antraknosa cenderung terjadi pada buah yang telah matang. Buah cabai matang mengandung karbohidrat pada kadar yang lebih dibandingkan buah yang masih muda (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Menurut Agrios (1997), karbohidrat sangat diperlukan untuk perkembangan cendawan. Dengan demikian dapat dipahami apabila perkembangan cendawan pada buah yang banyak mengandung karbohidrat relatif lebih cepat dibandingkan buah muda.
Kejadian Penyakit Antraknosa
Waktu inokulasi sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit dan tingkat kerusakan buah. Inokulasi pada periode berbunga menyebabkan kejadian penyakit dan tingkat kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan inokulasi saat berbuah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya bakal buah dan buah muda yang terkontaminasi inokulum cendawan, yang selanjutnya menyebabkan lebih banyak buah yang terinfeksi (Suryotomo 2006).
Inokulasi saat berbunga kemungkinan juga berakibat terhadap tingginya persentase gugur bunga, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap jumlah buah yang terbentuk (Suryotomo 2006). Menurut Black et al. (1991), patogen penyebab penyakit antraknosa dapat menyerang hampir seluruh bagian tanaman, tidak terkecuali bunga. Gugur bunga adalah salah satu gejala jika organ tersebut terserang antraknosa. Pengamatan yang dilakukan oleh Suryotomo (2006) pada tiga hari setelah inokulasi menunjukkan inokulasi pada saat berbunga menyebabkan gugur bunga yang relatif tinggi, yaitu sekitar 40% dari bunga yang telah terbentuk.
Inokulasi saat berbunga cenderung menimbulkan serangan pada ujung buah, sedangkan inokulasi pada saat berbuah menimbulkan gejala pada pangkal buah. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa inokulasi pada saat berbunga menyebabkan bagian ujung buah (bagian buah yang pertama kali terbentuk) akan terlebih dahulu terinfeksi karena inokulum yang disemprotkan akan berakumulasi pada bakal buah. Namun inokulasi pada saat berbuah, inokulum akan lebih mudah terakumulasi pada permukaan buah dimana larutan inokulum tertimbun, dimana kebanyakan adalah pada bagian pangkal buah (sekitar pedikel)
Morfologi Colletotrichum sp.
Colletotrichum mempunyai miselium yang jumlahnya agak banyak, hifa bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra 1983). Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta, dengan ukuran 7-8 x 3-4 μm (Weber 1973). Pada daun muda yang agak dewasa menghasilkan konidium cendawan yang berwarna merah jambu (Semangun 2000). Massa konidia yang berwarna merah jambu ini akhirnya menjadi cokelat gelap (Weber 1973).
Cendawan Colletotrichum menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi, dan konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau bila kena percikan air hujan. Konidia sangat ringan dan dapat menyebar terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit tersebar luas dalam waktu yang singkat (Soepana 1995). Konidia mungkin juga disebarkan oleh serangga (Semangun 2000).
Faktor Abiotik
Spora Colletotrichum tumbuh baik pada suhu 25-28 °C, sedang suhu di bawah 5 °C dan diatas 40°C tidak dapat berkecambah. Pada kondisi yang lembab, bercakbercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti peneduh yang kurang, kesuburan tanah yang rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena adanya kanker batang. Cendawan juga dapat menginfeksi melalui bekas tusukan atau gigitan serangga (Semangun 2000).
0 Response to "Gejala Penyakit Antraknosa pada Cabai, Perkembangan Penyakit, dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya"
Posting Komentar