Adnow

loading...

Zoteromedia

Adsensecamp

Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Hutan Tanaman IndusKeanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Hutan Tanaman Industri Acacia crassicarpa di Lahan Gambuttri Acacia crassicarpa dan Hutan Konservasi di Lahan Gambut

Lahan Gambut Secara Umum - Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic (C-organik >18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa 2008). 
 
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986).

Sifat-sifat kimia tanah gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik yang terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya (Agus dan Subiksa 2008). 
 
Secara umum gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena miskin unsur hara dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman, namun asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Selain meracuni tanaman, asam-asam organik juga mengakibatkan pH gambut sangat rendah. Tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3.0-4.5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4.0-5.1) daripada gambut dalam (pH 3.1-3.9) (Handayani 2008).

Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan baik dalam pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan, dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa 2008). Menurut Widyati dan Rostiwati (2010), kadar air yang tinggi menyebabkan BD gambut menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0.1 sampai 0.2 g cm-1 tergantung pada tingkat dekomposisinya.

Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60%. Kisaran besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse 2007).

Karakteristik Acacia crassicarpa

Di Indonesia terdapat 4 spesies tanaman akasia yang ditanam secara luas yaitu Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah dan Gales 1996). Diantara keempat spesies ini A. crassicarpa merupakan spesies tanaman yang paling produktif dibandingkan yang lain (Lau 1999). Penelitian Jayusman et al. (1992) menyebutkan bahwa dari 12 spesies tanaman cepat tumbuh yang diuji didapatkan bahwa A. crassicarpa mempunyai persentase hidup, pertambahan tinggi dan diameter batang terbaik. Hasil penelitian Roongrattanakul et al. (2005) menunjukkan bahwa A. crassicarpa pertumbuhannya paling cepat dan A. oraria pertumbuhannya paling lambat.

Secara umum A. crassicarpa dapat tumbuh pada ketinggian antara 0-700 m dpl. Daya adaptasinya tinggi, dapat dijumpai baik pada ekosistem sangat basah ataupun sangat kering. Pada habitat alaminya, curah hujan tahunan yang dibutuhkan A. crassicarpa bervariasi antara 900-4000 mm, namun di Australia bagian utara dapat dijumpai pada daerah dengan curah hujan tahunan hanya 500 mm (Eldoma dan Awang 1999) Di Irian Jaya dan Papua New Guinea, A. crassicarpa dapat tumbuh pada tanah yang agak bergelombang dan berdrainase baik atau kurang baik, tanah yang tergenang waktu hujan dan kering pada musim kemarau, pada tanah sangat masam, tanah latosol, dan tanah yang kesuburannya rendah (Rettob 1994).

Tanaman akasia seperti tanaman legum lainnya dapat bersimbiosis dengan bakteri tanah untuk memfiksasi nitrogen. Hal ini menyebabkan tanaman akasia mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kualitas haranya rendah (Old et al. 1999). Tanaman ini selain pertumbuhannya yang cepat, juga memberikan keuntungan secara ekonomi maupun lingkungan. Secara ekonomi, tanaman akasia menguntungkan karena dapat diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu, kertas, dan bahan bakar yangg potensial untuk produksi charcoal. Menguntungkan bagi lingkungan karena dapat berfungsi untuk memperbaiki tanah, potensial untuk mengontrol erosi dan sebagai revegetator (GRIN 2005).

Peranan Fauna Tanah

Fauna tanah merupakan organisme yang seluruh atau sebagian besar daur hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah juga permukaan tanah yang berperan dalam membantu mendekomposisi bahan organik (Suin 2006). Menurut Rahmawaty (2004), fauna tanah adalah bagian dari organisme tanah yang merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah. Fauna tanah yang tergolong dalam kelompok heterotrof ini mendapatkan energi dari substrat organik dalam tanah.

Sistem klasifikasi fauna tanah dapat didasarkan pada ukuran tubuh, yaitu: mikrofauna yang berukuran < 0,2 mm, mesofauna yang berukuran 0,2-2,0 mm dan fauna tanah yang berukuran 2,0-20 mm (Van der Drift 1951). Menurut Wallwork (1970), kisaran ukuran tubuh fauna tanah cukup besar, membentang sekitar 20 μm sampai lebih dari 200 mm, dapat dikategorikan menjadi:
  • Mikrofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 20 μm sampai 200 μm. Hanya ada satu kelompok pada kategori ini, yaitu Protozoa, meskipun ukuran terkecil dari Tungau, Nematoda, Rotifera, Tardigrada dan Crustacea dapat dimasukkan pada rentang ukuran tubuh ini.
  • Mesofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 200 μm sampai 1 cm. Kelompok Mikroarthropoda (Acari/tungau dan Collembola) adalah anggota penting dalam grup ini yang juga meliputi Nematoda, Rotifera, Tardigrada serta sebagian besar kelompok Araneida (laba-laba), Chelonethi (kalajengking), Opiliones, Enchytraeidae, larva serangga, ukuran terkecil dari kaki seribu dan Isopoda.
  • Makrofuna, memiliki ukuran tubuh lebih dari 1 cm. Kategori ini meliputi kelompok Lumbricidae, Mollusca, serangga, Arachnida yang berukuran besar dan vertebrata kecil penghuni tanah.
Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Selain itu Suhardjono et al. (2012) menyebutkan beberapa jenis fauna permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk (indikator) terhadap kesuburan tanah atau keadaan tanah. Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna lainnya. Faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap keberadaan fauna tanah, terutama adalah pH tanah, suhu tanah, aerasi, dan kadar air tersedia (Suin 2006). 

Keanekargaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah

Diversitas fauna tanah yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun kemarau berhubungan erat dengan pH, C-organik dan kadar air tanah gambut. Keanekaragaman fauna tanah meningkat dengan meningkatnya pH tanah. pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna. Hubungan dengan C-organik tanah, semakin meningkatnya kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas fauna tanah yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi gambut semakin meningkat diversitas fauna tanah yang aktif dalam tanah (Suin 2006). 
 
Hubungan diversitas fauna tanah dengan kadar air tanah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin rendah diversitas fauna tanah. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Menurut Maftu’ah et al. (2005), bahan organik dengan kadar air tinggi merupakan bahan organik yang belum terdekomposisi lama (belum matang). Hal ini didukung pula oleh Rasmadi dan Kurnain (2004), bahwa gambut yang kurang matang mampu menahan air lebih besar dibandingkan gambut yang telah matang.

Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah (Rahmawaty 2004). Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dan penyediaan unsur hara baik itu yang berada di atas maupun di dalam tanah. Makrofauna akan merombak substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Makrofauna di atas permukaan tanah sepert kutu (Arachnida) yang berperan dalam penghancuran dan perombakan bahan organik, kemudian translokasinya ke lapisan tanah bawah. Sedangkan untuk makrofauna tanah di dalam tanah contohnya adalah cacing tanah yang berperan dalam (1) pencernaan tanah, perombakan bahan organik, dan pengadukannya dengan tanah, (2) penggalian tanah dan transportasi tanah bawah ke atas atau sebaliknya, (3) membantu pembentukan agregat tanah, perbaikan aerasi dan drainase, dan memperbaiki daya tahan tanah memegang air (Hanafiah et al. 2005).

Berdasarkan Hamidah (2004) menyatakan bahwa besarnya diversitas makrofauna berbeda-beda tergantung dengan jenis penggunaan lahannya. Nilai indeks diversitas makrofauna tanah berturut-turut tinggi ke rendah adalah hutan alami (0.624), hutan pinus (0.594), kebun cengkeh (0.411), dan tegalan (0.184). Pengurangan diversitas ini terjadi karena pengurangan diversitas tanaman dapat mengurangi diversitas sumber makanan dan perlindungan bagi makrofauna tanah, sehingga makrofauna tanah juga mengalami penurunan. Hutan alami mempunyai diversitas makrofauna yang paling besar diantara yang lain, hal ini dikarenakan sumbangan seresah ke tanah mempunyai keanekaragaman tinggi dan diikuti oleh peningkatan bahan organik yang tinggi pula.

Arief (2001) menyebutkan bahwa terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%. Meskipun mesofauna tanah sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar) mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Mesofauna tanah akan merombak bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikroba tanah.

0 Response to "Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Hutan Tanaman IndusKeanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Hutan Tanaman Industri Acacia crassicarpa di Lahan Gambuttri Acacia crassicarpa dan Hutan Konservasi di Lahan Gambut"

Posting Komentar

  Yuuk Berbisnis Mudah dan Gratis
Buktikan Sendiri dengan Klik DISINI