Proses infeksi virus tungro -Semai yang baru ditanam umumnya sehat dan bebas dari wereng hijau. Beberapa hari kemudian, wereng hijau yang membawa virus tungro (sebagian besar RTSV) berpindah ke lapang. Jika varietas padi rentan, serangga akan memakannya, mengkolonisasi di lapang, dan segera bertelur. Setelah 1- 2 minggu, terjadi infeksi RTSV symptomless. Setelah lebih banyak wereng hijau berpindah ke lapang, semai telah ditanam, sementara telur wereng hijau segera menetas dan berkembang menjadi nimfa. Setelah 3-4 minggu, infeksi RTSV meningkat dengan cepat, infeksi RTBV dan RTSV secara bersamaan mulai muncul. Jika hal ini terjadi, gejala tungro baru muncul (Chancellor and Holt, 2008).
Distribusi
Setelah gejala tungro muncul, vektor wereng hijau pada fase nimfa dan dewasa mulai menyebarkan kedua virus ini. Setelah 4 minggu, infeksi keduanya telah tersebar luas dan tanaman menunjukkan gejala pada sebidang lahan. Kemudian, jika sebagian besar tanaman telah menunjukkan gejala, wereng hijau dewasa berpindah dari lapang, karena tertarik dengan tanaman yang lebih muda di lahan di dekatnya. Area dimana padi ditanam dengan tidak serempak, wereng hijau cenderung berpindah dari tanaman yang tua ke tanaman yang lebih muda dan lebih rentan. Tanaman pada tahap perkembangan sangat rentan dan tahap ini merupakan tahap paling kritis dalam perkembangan tungro (Chancellor and Holt, 2008).
Gejala luar dan gejala dalam
Tanaman padi yang terinfeksi RTBV dan RTSV menunjukkan gejala terserang penyakit tungro, yaitu kerdil dan perubahan warna daun menjadi kuning atau orange-kuning (Matthews, 1996). Infeksi yang disebabkan RTBV saja menyebabkan gejala perubahan warna kuning-oranye dan kerdil. RTSV sendiri tidak menyebabkan gejala yang tampak jelas kecuali mild stunting, tetapi peningkatan gejala dapat terjadi dengan adanya RTBV (Hibino et al., 1987).
Tanaman terinfeksi juga mengurangi jumlah batang dan menunjukkan bercak berwarna karat pada permukaan daun. Tingkat kerdil dan perubahan warna daun bervariasi berdasarkan varietas padi, strain virus, umur tanaman ketika terinfeksi, dan lingkungan. Varietas yang tahan terhadap penyakit menunjukkan tidak terjadi perubahan warna atau hanya perubahan ringan yang tidak tanpak jelas, seperti tanaman sehat. Pertumbuhan malai pada tanaman terinfeksi dapat terhambat dan sering tidak sempurna, dan beberapa malai menjadi pendek dan menghasilkan bulir yang steril atau hanya terisi sebagian (Choi et al., 2009).
Pemeriksaan mikroskopis pada bagian yang diwarnai dengan pewarna Giemsa menunjukkan sel parenkim pada pembuluh vaskuler dari daun terinfeksi mengandung pewarna, yang mengelilingi badan inklusi. Ukuran badan inklusi terlihat beragam sesuai dengan ukuran sel. Ujung daun tanaman sakit menjadi berwarna gelap setelah diberi perlakuan dengan larutan iodine, terutama ketika klorofil rusak karena pemanasan daun dalam alcohol sebelum pewarnaan. Reaksi ini menunjukkan adanya pati dalam ujung daun. Hal ini berbeda dengan daun sehat yang menunjukkan tidak adanya reaksi warna gelap pada ujung daun. Kemungkinan virus mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan meningkatkan sistesis pati, mengurangi hidrolisis pati, atau keduanya (Ling, 1972).
Penularan
Efisiensi penularan virus beragam tergantung spesies vektor, genotip spesies, dan varietas padi. RTBV dan RTSV merupakan virus non-sirkulatif dan non-propagatif dalam vektor serangga. Virus bertahan selama 3-5 hari pada serangga N. virescens, namun hanya selama 1 hari pada N. nigropictus, N. malayanus, dan R. dorsalis. N. virescens memakan tanaman dan memperoleh kedua virus tersebut, dengan periode akuisisi minimum selama 30 menit.
Virus yang diperoleh vektor dapat ditularkan secara bersamaan atau sebagian dalam 1 hari (inokulasi membutuhkan waktu minimum 7 menit) (Praptana dan Burhanuddin, 2008). RTBV dan RTSV ditularkan secara semi persisten oleh wereng hijau N. virescens (Fan et al., 1996). RTSV dapat ditularkan secara bebas oleh wereng hijau, dimana penularan RTBV oleh wereng hijau membutuhkan keberadaan RTSV atau faktor yang mengkode dalam genom RTSV (Hibino et al., 1987). Namun, RTBV dapat ditularkan ke tanaman padi dengan agroinokulasi klon DNA yang infeksius tanpa RTSV dan wereng hijau (Dasgupta et al., 1991).
Virus yang diperoleh vektor dapat ditularkan secara bersamaan atau sebagian dalam 1 hari (inokulasi membutuhkan waktu minimum 7 menit) (Praptana dan Burhanuddin, 2008). RTBV dan RTSV ditularkan secara semi persisten oleh wereng hijau N. virescens (Fan et al., 1996). RTSV dapat ditularkan secara bebas oleh wereng hijau, dimana penularan RTBV oleh wereng hijau membutuhkan keberadaan RTSV atau faktor yang mengkode dalam genom RTSV (Hibino et al., 1987). Namun, RTBV dapat ditularkan ke tanaman padi dengan agroinokulasi klon DNA yang infeksius tanpa RTSV dan wereng hijau (Dasgupta et al., 1991).
Deteksi dan Identifikasi
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi virus padi. Namun, sensitivitas ELISA tidak cukup tinggi untuk mendeteksi virus pada daun padi dengan konsentrasi virus yang rendah. Selain itu, ELISA membutuhkan antiserum spesifik virus, yang tidak mudah diperoleh. Uji reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) lebih sensitif daripada ELISA dan telah digunakan untuk mendeteksi virus padi. Namun, RT-PCR membutuhkan thermo-cycler yang mahal dan menghabiskan waktu karena waktu amplifikasi yang lebih lama dan tahap penambahan visualisasi pada gel agarosa yang melibatkan penggunaan mutagen ethidium bromide (Le et al., 2010).
Faktor yang Berpengaruh terhadap Terjadinya Infeksi dan Penyakit
Semakin muda stadia tanaman, ketersediaan sumber inokulum yang tergolong varietas peka dan tingginya populasi wereng hijau infektif menyebabkan tingginya intensitas serangan tungro (Raga et al., 2004). Tingginya intensitas serangan tungro dapat disebabkan oleh tingginya tekanan vektor (Tiongco et al., 1983). Intensitas serangan tungro meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Praptana dan Burhanuddin, 2008). Namun demikian intensitas serangan tungro juga dipengaruhi oleh (1) kemampuan menginfeksi oleh wereng hijau tinggi.
Pada umur 8 MST terjadi puncak infeksi kedua oleh vektor generasi G1; (2) tersedia sumber inokulum sehingga walaupun populasi wereng hijau rendah tetapi masih dapat menularkan virus. Fluktuasi intensitas serangan tungro sejalan dengan fluktuasi populasi wereng hijau apabila sumber inokulum telah tersedia. Kepadatan populasi wereng hijau yang rendah akan tetap efektif menyebarkan virus tungro; (3) telah terjadi infeksi sekunder sebelumnya (Suzuki et al., 1992).
Ketersediaan faktor-faktor tersebut bervariasi dari musim ke musim, dengan demikian waktu tanam dan varietas yang dipilih sangat erat hubungannya dengan timbulnya penyakit tungro (Muis et al., 1989). Keberadaan wereng hijau sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu yang berpengaruh terhadap daur hidup wereng hijau, pemerolehan virus (aqusition feeding) dan penularan virus (inoculation feeding) (Hasanuddin, 1991). Curah hujan dan kelembaban relatif berpengaruh terhadap dinamika populasi wereng hijau (Suzuki et al., 1992).
Pada umur 8 MST terjadi puncak infeksi kedua oleh vektor generasi G1; (2) tersedia sumber inokulum sehingga walaupun populasi wereng hijau rendah tetapi masih dapat menularkan virus. Fluktuasi intensitas serangan tungro sejalan dengan fluktuasi populasi wereng hijau apabila sumber inokulum telah tersedia. Kepadatan populasi wereng hijau yang rendah akan tetap efektif menyebarkan virus tungro; (3) telah terjadi infeksi sekunder sebelumnya (Suzuki et al., 1992).
Ketersediaan faktor-faktor tersebut bervariasi dari musim ke musim, dengan demikian waktu tanam dan varietas yang dipilih sangat erat hubungannya dengan timbulnya penyakit tungro (Muis et al., 1989). Keberadaan wereng hijau sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu yang berpengaruh terhadap daur hidup wereng hijau, pemerolehan virus (aqusition feeding) dan penularan virus (inoculation feeding) (Hasanuddin, 1991). Curah hujan dan kelembaban relatif berpengaruh terhadap dinamika populasi wereng hijau (Suzuki et al., 1992).
Mekanisme Ketahanan
Kultivar yang tahan terhadap penyakit tungro merupakan objek penting untuk peningkatan padi di banyak negara Asia. Kultivar yang tahan wereng hijau dapat mengendalikan penyakit tungro, namun sebagian besar kultivar yang tahan terhadap wereng hijau tidak menunjukkan daya tahan untuk ditanam terus-menerus di lapang (Hibino et al., 1990; Zenna et al., 2006).
Terdapat dua tipe ketahanan tungro, yaitu (1) ketahanan terhadap vektor, wereng hijau tidak dapat makan dan bereproduksi secara efektif pada tanaman yang tahan, serta tidak dapat menularkan virus tungro, (2) ketahanan terhadap virus, virus tidak mampu bertahan di dalam tanaman. Beberapa varietas yang digunakan dapat resisten hanya pada vektor, tetapi tidak pada virus tungro (Praptana dan Burhanuddin, 2008).
Ekologi
Penularan ditentukan oleh kerentanan padi terhadap virus, dan keberadaan vektor yang infektif. Pada penanaman awal, penularan terjadi selama periode migrasi awal vektor. Generasi kedua vektor memperluas penularan, namun kejadian virus tidak setinggi penanaman awal. Ketahanan vektor dewasa sepanjang musim dingin berperan penting dalam penularan primer. Vektor dari generasi kedua memperoleh virus dengan memakan tanaman terinfeksi dari hasil penularan primer. Kerapatan populasi vektor memiliki hubungan positif dengan kejadian penyakit virus. Pada penanaman awal, tingkat kerentanan menentukan persentase tanaman terinfeksi (International Rice Research Institute, 1969).
Epidemiologi
Selama kurun waktu 5 tahun (1999-2004), serangan tungro mencapai 1680ha dan serangan terluas terjadi di Polewali Mandar dan di Sulawesi Selatan yaitu Sidrap dan Pinrang (Muis et al., 1990). Epidemiologi tungro melibatkan empat komponen, yaitu (1) kompleks dua virus (RTBV dan RTSV), (2) kompleks vektor dari lima speseis wereng hijau (Nephotettix virescens, N. nigropictus, N. malayanus, N. parvus and R. dorsalis), N. virescens merupakan spesies yang paling penting, (3) padi sebagai inang utama dan kemungkinan beberapa gulma sebagai inang perantara dari virus, dan (4) lingkungan, termasuk faktor fisik (temperatur, curah hujan) dan faktor biologi (musuh alami dan para petani) (Tiongco et al., 1983).
Pengendalian
Pengendalian tungro dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti tingkat ketahanan varietas, kepadatan populasi dan efisiensi wereng hijau, penyebaran virus, ketersediaan sumber inokulum, kondisi lingkungan dan sosial ekonomi petani. Menekan populasi wereng hijau infektif dan eradikasi sumber inokulum merupakan teknologi pengendalian tungro terutama di daerah dengan segala pola tanam yang potensial terjadi eksplosi (Hasanuddin et al., 2001).
Terdapat banyak metode yang dapat dilakukan untuk mengendalikan tungro, namun metode yang paling efisien yaitu menumbuhkan varietas yang tahan (ketahanan tanaman inang), dan kultur teknis (kultur kontrol). Penggunaan insektisida untuk manajemen tungro melalui pengendalian wereng hijau sering tidak efektif. Hal ini disebabkan karena (1) penyebaran tungro yang cepat, wereng hijau merupakan vektor virus tungro yang sangat efisien, (2) wereng hijau dapat menularkan virus tungro pada waktu makan yang sangat singkat, dan (3) terdapat perpindahan yang berkelanjutan dari lahan di selitarnya (Choi et al., 2009).
Usaha pengendalian tungro dilakukan dengan menanam sebelum terjadi kepadatan populasi yang tinggi. Pada saat populasi wereng hijau tinggi, pertanaman telah masuk fase generatif sehingga mengurangi tekanan infeksi virus (Hasanuddin, 2001). Pergiliran varietas tahan akan memperpanjang durasi ketahanan varietas dan mengurangi tekanan seleksi wereng hijau. Penerapan waktu tanam tepat memerlukan pola tanam yang serempak sedangkan pergiliran varietas memerlukan informasi tingkat adaptasi wereng hijau terhadap varietas tahan (Widiarta et al., 2004).
0 Response to "INFEKSI, GEJALA, DETEKSI, DAN PENGENDALIAN Rice tungro virus"
Posting Komentar